Listen Qur'an

Akhir Sejarah Cinta Kita

Senin, 02 Januari 2012
Suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita tidur saling memunggungi
tapi jiwa berpeluk-peluk
senyum mendekap senyum

suatu saat alam sejarah cinta kita
raga tak lagi saling membutuhkan
hanya jiwa kita sudah melekat dan menyatukan
rindu mengelus rindu

suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita hanya mengisi waktu dengan cerita
mengenang dan hanya itu
yang kita punya

suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita mengenang masa depan kebersamaan
kemana cinta akan berakhir
disaat tak ada akhir.

Anis Mata

Kontribusi

Jumat, 02 September 2011

“Lakukan segala apa  yang mampu kalian amalkan. Sesungguhnya Allah tidak jemu sampai kalian sendiri merasa jemu” (HR. Bukhari)

Ada banyak hal yang belum kita tahu, ada banyak keterampilan yang belum kita bisa. Ada banyak wawasan yang terlewatkan. Ada ribuan buku yang terbit setiap hari. Ada miliyaran manusia yang belum kita kenal. Ada jutaan tempat yang belum kita kunjungi. Ada banyak kata dan ucap yang belum sempat terucap dan tersampaikan. Ada banyak buah pikiran yang belum tersalurkan. Ada banyak ide dan rancang karya yang belum kita wujudkan. Demi Allah, ada banyak ilmu yang belum kita amalkan .......

Padahal Allah telah menyediakan tempat belajar : Ada banyak masjid yang tanpa jama’ah dan pemakmur. Ada banyakl TPA yang kekurangan pembina. Ada banyak acara dakwah yang kurang lancar sebab tak ada personel memadai. Ada pengelolaan yang belum profesional melihat cara kerja Panitia Kegiatan Ramadhan kemarin. ROHIS masing pontang-panting dan compang-camping kalau mengadakan acara. Ada banyak remaja masjid yang justru menggunakan kegiatan untuk pacaran, wuih. Itu yang dekat dan kecil. Ada yang dekat tapi besar. Misalnya, ada jutaan muslimin miskin adalah tetangga kita. Ratusan ribu anak jalanan lalu lalang di depan rumah. Jutaan umat terancam Kristenisasi dan pemurtadan.

Yang jauh dimata tapi harusnya dekat dihati?  Jutaan pengungsi Palestina meregang nyawa. Anak-anak dengan ketapel menghadang tank dan buldozer. Orang-orang tak berdosa korban bom curah dan bom karpet Amerika di Afghan dan ‘Iraq. Muslimah yang diteror, ditarik jilbabnya dan diperkosa. Demi Allah, ada banyak hal yang akan ditanyakan-Nya kepada kita, soal Ukhuwah, cinta, dan kepedulian.....

Saya kan juga masih bodoh soal agama, belum layak ambil bagian dalam da’wah. Belum sepantasnya saya berda’wah.

Ketahuilah, kalau da’wah hanya ceramah, maka dunia hanya perlu lidah, tak perlu anggota badan lain !
Jika pun anda adalah orang yang hanya bisa mengebut, tak ada ketrampilan lainnya, betapa berharganya anda sebagai penjemput ustadz pengisi kajian yang rumahnya nun jauh di sana. Pun saat anda seorang yang agak ‘pelit’ soal uang, ada jabatan ROHIS menanti. Pun ketika anda seorang yang suka jajan, Andalah referensie Sie Konsumsi untuk mencari konsumsi terlezat dan termurah. Pun ketika anda seorang yang suka berpetualang, anda tetap referensi dan surveyor tangguh bagi Tim Outbond Islami.  Pun ketika anda hanya kenal para sopir, bukankah kita membutuhkan Sie Transportasi? Pun jika anda bercita-cita menjadi pebisnis sukses mengapa tak sejak sekarang belajar sebagai Sie Dana Usaha? Kalau anda ingin jadi aktivis LSM Muslim, kok tidak sejak sekarang mencoba mengumpulkan dan mengelola infaq untuk pengungsi Ambon, Poso, korban perang di Afghan, ‘Iraq, dan Palestina? Begitu banyak yang bisa dilakukan dalam da’wah ini ....

“Hai orang yang berselimut! Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabb-mu  agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah! Dan perbuatan dosa  tinggalkanlah! Dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh yang lebih banyak. Dan untuk  (memenuhi perintah) Rabb-mu, bersabarlah! (Al Mudatstsir 1-7)
Ya, lalu kelak? Tahkah kau, dari 1000 anggota dewan partai da’wah, 400 orang diantaranya bergelar Lc? Tegakah kau saksikan  mereka terbengong sejenak, dan harus belajar cepat, sangat cepat, untuk mengejar ketertinggalan mereka memahami masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada amanah yang diembannya? Lalu siapa yang memberi taujih bagi umat, kalau begitu? Tidak. Teruslah menatap ke depan, maka kau akan saksikan betapa da’wah semakin membutuhkan sosok-sosok yang profesional diberbagai bidang untuk menjawab pertanyaan ummat, “Mana kontribusi da’wah bagi kemajuan peradaban?”

Tengoklah ke belakang. Investasi ‘Ustman telah memakmurkan seluruh Madinah. Enterpreneurship ‘Abdurrahman Ibn ‘Auf telah membangun keseimbangan pasar yang sebelumnya dikungkung hegemoni  Yahudi. Keuletan petani seperti Abu Thalhah telah menjamin ketahanan pangan Madinah. Kemahiran Asy-Syifa’ binti ‘Abdillah telah menjaga kesehatan penduduk Madinah. Administrasi ala ‘Umar ibn Al Khaththab membuat negerinya sentausa. Kejelian akunting Abu ‘Ubaidah telah menjaminkan keadilan dan pemerataan ekonomi masyarakat. Kelihaian perang Khalid telah membuka wilayah-wilayah baru. Kecerdikan diplomasi ‘Amr ibn Al ‘Ash telah menaklukan banyak tanah tanpa pertumpahan darah. 
 Begitulah .... 


Maka kini, mungkin dalam keterbatasan kita, bercita-cita tinggilah... Kerjakan semua yang kau bisa sampai batas kelelahan menghampiri. Malam ini, saat kau rasakan pegal dipunggung, ngilu di kaki, dan nyeri di sendi, berbaringlah bertafakur di tempat tidur. Bermuhasabahlah sambil merilekskan tubuhmu. Rasakan kenyamanan istirahat yang sangat. Lalu bolehlah engkau bersenandung seperti yang dilantunkan Hijjaz : 

Selimuti diriku
Dengan sutra kasih sayangMU
Agar lena nanti, kumimpikan surga yang indah
Abadi

Pabila ku terjaga
Dapat lagi kurasai
Betapa harumnya, wangian surga firdausi
Oh Illahi

(Hijjaz : Sebelum Mata Terlena)

Semoga semua kelelahanmu, berhadiah pijatan lembut bidadari ... 

>> Saksikanlah Bahwa Aku Seorang Muslim <<

Salim A. Fillah

AFILIASI

Kamis, 01 September 2011

Saudaraku, aku punya harap yang harus kubagi denganmu.

Semoga ada wajah-wajah yang tidak pernah mengeluh pada kita tentang taqdir yang menimpanya. Mereka telah mencukupkan akhir malam sebagai waktu pengaduan. Saat mereka berdiri, ruku’, dan sujud dalam tangis rindunya. Manis nian wajah-wajah itu dengan senyum mendoakan kita, “Assalamu’alaikum...”

Semoga ada wajah-wajah yang tak pernah mengajak kita menggunjing, memfitnah, dan sibuk dengan aib orang. Betapa ingin kita disambut dimajelis mereka, dengan ucapan, “akhi.. ta’ala nu’minu saa’ah....saudaraku, mari sejenak kita beriman!” dan kita diterbangkan ketempat yang dinaungi sayap malaikat. 

Kita rindu bersua dengan wajah-wajah ini dalam perjalanan. Bukankah kita belum saling kenal dan baru kali ini bertatap muka? Tapi rasanya hati sudah akrab, dan lisan tak tahan untuk segera melempar senyum dan beruluk salam. 

Inilah dia, wajah-wajah keimanan. Yang digambarkan Rasulullah, yang satu menjadi cermin yang lain. Ada inspirasi amal shaleh saat memandangnya, ada ide cemerlang dan energi isi ulang melihat keteduhannya...Subhanallah. Betapa kita merindu wajah-wajah keimanan. Wajah-wajah itu adalah, wajah-wajah saudara kita dijalan Allah.

Kita rindu wajah Ash Shiddiq Abu Bakar yang membuat kita tak lagi merasa ragu dan bimbang. Kita rindu wajah Al Faruq Ibnu Al Khaththab untuk membuang kepengecutan.... Dan tentu kita rindu wajah Al Amin, yang membuat kita merasa berharga menyertainya menghadap Allah  nanti. Kita sangat rindu wajah-wajah keimanan. Kita rindu menjadi bagian dari mereka, serindu kita pada sebuah sambutan...

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah pada Rabbmu dengan hati puas lagi diridhai, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam jannahKu...” (Al Fajr 27-30).

Lalu, betapa rindu kita pada sebuah rumah tangga yang barakah...

Mungkin saja suatu malam, menjelang pagi barangkali, antum segera terbangun padahal sedang bermimpi dahi antum dikecup bidadari. Dan ketika antum membuka mata, ‘bidadari’ itu sedang memandang antum sambil mengenakan mukenanya, “Shalat yuk!” Istri kita, separuh agama, penjaga ketaatan kita padaNya.

Istri, labuhan kita dari samudra dunia yang bergolak tak ramah. Dalam belaiannya, ada kelembutan, ada ketentraman, ada cinta, ada kehangatan. Tahukah kita juga tentang kelelahannya? Mungkin ia merasa sangat pegal, ingin sekali diurut dan dipijat. Ketika kita pulang, belum sempat ia berucap lisan kita sudah memberondongnya dengan banyak keluhan dan permintaan. Mungkin ingin sekali ia terlelap sejenak, tapi kita sudah mengganggunya dengan kerewelan-kerewelan. Mungkin juga, ia ingin menangis, tapi kita telah terisak mengadu dan berkeluh dipangkuannya sebelum sempat ia ucapkan sepatah kata. 

Istri, arah kita berlari dari yang haram menuju yang halal. Berlari dari dosa mencari pahala. Berlari dari hina menuju mulia. Berlari dari tempat maksiat ke tempat ibadat. Berlari dari syaitan yang keji menuju bidadari yang suci. Bukankah itu bisa berarti berlari dari neraka menuju surga? Subhanallah, kapanpun kita pulang, kita berharap surga itu memang selalu hadir ke rumah kita. 

Adakah yang tak suka dibimbing ayah seperti Luqman, yang selalu memanggil putranya, “Ya Bunayya..?” Adakah yang tak rindu beribukan Khansa, yang disaat keempat putranya menghadap Allah dengan syahid berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan syahidnya mereka.?”Adakah yang tak mendamba rumah tangga berisi Ibrahim, Hajar, Isma’il? Adakah?

Ya. Jangan lupakan juga anak-anak yang menghadirkan keceriaan, atau memberi pelita rumah kita dengan hafalan Qur’an mereka. Mereka berhak mendapatkan kemanfaatan tertinggi dari kita. Mereka yang selalu menyambut lelah kita sepulang kerja dengan teriakan, “Abii..gendoong!”, lalu tangan yang tadi tak kuasa membawa tas kerja, kini dengan ringan membopong si gendut yang tampak mungil dengan kerudungnya. Kita rindu rumah keluarga Ali, tempat si kecil Hasan, Husain, dan Ummu Kultsum menangis karena roti berbuka mereka tidak diberikan kepada peminta-minta. Kita sangat rindu.

“Surga ‘Adn yang mereka masuki bersama orang-orang shalih dari bapak-bapak mereka, istri-isrinya, dan anak cucunya, sementara malaikat-malaikat masuk ke tempat mereka dari semua pintu, sambil mengucapkan “Salaamun ‘alaikum bimaa sabarthum..”, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (Ar Ra’ad 23-24)

Lalu kita rindu masyarakat yang terarah...

Kalau rumah-rumah bercahaya itu berkumpul menjadi suatu masyarakat bertetangga, alangkah rindu kita menjadi bagian darinya. Kita begitu rindu masyarakat Imani, masyarakat yang membuat kita selalu ingin berada di tengah mereka. Hanya itu masyarakat yang membuat kita merasa aman dari lisan dan tangan mereka. Masyarakat yang setiap hari menyambung silaturrahimnya di dalam rumah Allah melalui jama’ah shalat dan majelis ilmu. Tumit-tumitnya merapat, pundak-pundaknya luwes saling bersentuh, barisannya lurus, dan takbirnya serempak menggemakan kebesaran Allah. Masyarakat yang rumpiannya rumpian iman, arisannya majelis dzikir, dan gotong-royongnya jihad fi sabilillah...

Adakah yang sempat menyuapi orang buta di pojok pasar dengan terlebih dahulu melembutkannya sehingga si buta tak perlu lagi mengunyahnya? Adakah yang ketika tak bersua dengan pengejek rutinnya justru menanyakan kabarnya. Dan justru menjadi orang pertama yang menjenguk sakitnya? Wahai Rasulullah.., alangkah indah menjadi tetanggamu. 

Kalau Hasan Al Bashri hidup di zaman ini tentu kita akan saksikan ia mengirimkan sekeranjang kurma untuk penggunjing-penggunjingnya dengan kartu ucapan, “Terima kasih atas gunjinganmu yang membuat pahalamu berpindah kepadaku.” Aduhai, siapa yang tak berhenti menggunjing kalau begini caranya? Betapa rindu bertetangga dengannya yang bersabar atas rembesan air WC tetangga 30 tahun lamanya. Subhanallah.

Lalu, kita rindu sebuah negri yang thayyibah..

‘Ukasyah membuat kita iri dengan kesempatannya untuk membalas pukulan tak sengaja Rasulullah. Pemimpin besar ini telah memberi kesempatan siapapun yang meras terzhalimi untuk membalas. Ia memberi sebuah contoh tentang keadilan dan persamaan hukum. Tapi yang membuat kita lebih iri, sebenarnya  Ukasyah hanya ingin kulitnya dekat dengan sang pemimpin terkasih di dunia dan akhirat.

Kita merindukan saat kita bisa seperti Salman. Dengan status imigran bisa mengkritisi pemimpin negara sampai pun soal pakaian sang pemimpin yang berbeda ukuran dari rakyatnya. Dan ‘Umar sang pemimpin pun bisa menjelaskan bahwa kain jatahnya sama dengan jatah yang dibagi untuk semua penduduk. Hanya saja karena ia bertubuh besar, sehingga putra tercinta memberikan bagiannya untuk ‘Umar sehingga kainnya tampak lebih besar.

Kita merindukan pemimpin yang setiap malam bisa meronda memeriksa kondisi kita. Pemimpin yang juga sempat memikul sendiri gandum untuk seorang ibu yang sulit mendiamkan tangis lapar anaknya. Kita juga rindu ibu negara seperti Ummu Kultsum binti ‘Ali yang ditengah malam bekerja keras menolong kelahiran salah seorang warganya, sementara suami tercinta ‘Umar Amirul Mukminin memasak roti dan menghangatkan susu sambil menghibur gelisah sang calon ayah.

‘Umar lain, yang datang sebagai buyut ‘Umar pertama menyelesaikan krisis ekonomi berat hanya dalam usia dua tahun usia pemerintahannya. Dan kedua penguasa ini dapat ditemui tanpa birokrasi menyulitkan. Bahkan tampak tiduran di atas kerikil atau mengendari baghal bututnya. Bukan karena miskin. Pemimpin  muslim sejati memandang jabatan sebagai amanah yang berat pertanggungjawabannya. “Kalau ada seekor anak unta hilang di tepi sungai Daljah, aku takut Allah akan menanyakannya kelak..!”, katanya suatu ketika.

Betapa rindu kita pada pemimpin yang bisa menangis. Minimal menangis. Karena cinta. Pemimpin yang sadar bahwa ia akan ditanya dan diminta bertanggungjawab atas jutaan pengangguran, miliyaran kasus kriminalitas, jatuhnya moral remaja, dan perempatan jalan yang penuh peminta. Minimal sadar. Karena cinta. Ia seperti kata Nabi, “Ia mencintai kalian, dan kalian pun mencintainya.” Dan cinta itu, akan mengangkatnya dari kungkungan batas-batas kemampuanya untuk berbuat lebih. Karena cinta itu tak membuatnya sendiri, tatapi rakyat membersamainya. Jika ruhnya saling mengenal dengan ruh rakyatnya, saat itulah nyala bertemu sumbu, dan kerja-kerja menjadi api yang mengkinesi potensi. Dan Allah menghujankan air barakah, dan menumbuhkan pohon thayyibah. 

Jangan ia menjadi pemimpin yang dikatakan Nabi, “Ia membenci kalian, dan kalian membencinya.” Karena ia pemimpin yang terbuta seperti patung dewi keadilan. Dan keadilan pun menjadi seperti patung, -atau robot-, bagi rakyatnya. Karena ia pemimpin yang menyuapi jutaan mulut bayi lapar dengan hutang sepuluh juta perkepala begitu lahir dari rahim ibunya. Karena ia rindu menjadi Fir’aun terpuja. Serindu rakyatnya pada Musa yang membebaskan, dan Sulaiman yang memakmurkan. 

Saudaraku, adakah rindu kita ada di lembah hijau yang sama?

Atau setidaknya di gersang padang yang sama. Kerinduan menjadi energi besar bagi nurani yang menginginkan perubahan. Dan nyata kiranya, kerinduan pada cahaya muncul di saat kita sedang  berada dalam kegelapan. Makna kerinduan begitu berarti bagi orang-orang pilihan. Kerinduan, ya...kerinduan. 
Kerinduan menjadi nikmat yang menyambung asa harapan orang-orang beriman. Cita-cita besar para mujahid selalu berangkat dari terminal kerinduan. Dan unik, terminal rindu itu selalu dibawa serta selama perjalanan. 

Semoga rindu adalah sepotong makna afiliasi kita. Pada Allah, RasulNya, dan DiinNya. []
 -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
>> Saksikanlah Bahwa Aku Seorang Muslim <<

Salim A. Fillah