Listen Qur'an

Kontribusi

Jumat, 02 September 2011

“Lakukan segala apa  yang mampu kalian amalkan. Sesungguhnya Allah tidak jemu sampai kalian sendiri merasa jemu” (HR. Bukhari)

Ada banyak hal yang belum kita tahu, ada banyak keterampilan yang belum kita bisa. Ada banyak wawasan yang terlewatkan. Ada ribuan buku yang terbit setiap hari. Ada miliyaran manusia yang belum kita kenal. Ada jutaan tempat yang belum kita kunjungi. Ada banyak kata dan ucap yang belum sempat terucap dan tersampaikan. Ada banyak buah pikiran yang belum tersalurkan. Ada banyak ide dan rancang karya yang belum kita wujudkan. Demi Allah, ada banyak ilmu yang belum kita amalkan .......

Padahal Allah telah menyediakan tempat belajar : Ada banyak masjid yang tanpa jama’ah dan pemakmur. Ada banyakl TPA yang kekurangan pembina. Ada banyak acara dakwah yang kurang lancar sebab tak ada personel memadai. Ada pengelolaan yang belum profesional melihat cara kerja Panitia Kegiatan Ramadhan kemarin. ROHIS masing pontang-panting dan compang-camping kalau mengadakan acara. Ada banyak remaja masjid yang justru menggunakan kegiatan untuk pacaran, wuih. Itu yang dekat dan kecil. Ada yang dekat tapi besar. Misalnya, ada jutaan muslimin miskin adalah tetangga kita. Ratusan ribu anak jalanan lalu lalang di depan rumah. Jutaan umat terancam Kristenisasi dan pemurtadan.

Yang jauh dimata tapi harusnya dekat dihati?  Jutaan pengungsi Palestina meregang nyawa. Anak-anak dengan ketapel menghadang tank dan buldozer. Orang-orang tak berdosa korban bom curah dan bom karpet Amerika di Afghan dan ‘Iraq. Muslimah yang diteror, ditarik jilbabnya dan diperkosa. Demi Allah, ada banyak hal yang akan ditanyakan-Nya kepada kita, soal Ukhuwah, cinta, dan kepedulian.....

Saya kan juga masih bodoh soal agama, belum layak ambil bagian dalam da’wah. Belum sepantasnya saya berda’wah.

Ketahuilah, kalau da’wah hanya ceramah, maka dunia hanya perlu lidah, tak perlu anggota badan lain !
Jika pun anda adalah orang yang hanya bisa mengebut, tak ada ketrampilan lainnya, betapa berharganya anda sebagai penjemput ustadz pengisi kajian yang rumahnya nun jauh di sana. Pun saat anda seorang yang agak ‘pelit’ soal uang, ada jabatan ROHIS menanti. Pun ketika anda seorang yang suka jajan, Andalah referensie Sie Konsumsi untuk mencari konsumsi terlezat dan termurah. Pun ketika anda seorang yang suka berpetualang, anda tetap referensi dan surveyor tangguh bagi Tim Outbond Islami.  Pun ketika anda hanya kenal para sopir, bukankah kita membutuhkan Sie Transportasi? Pun jika anda bercita-cita menjadi pebisnis sukses mengapa tak sejak sekarang belajar sebagai Sie Dana Usaha? Kalau anda ingin jadi aktivis LSM Muslim, kok tidak sejak sekarang mencoba mengumpulkan dan mengelola infaq untuk pengungsi Ambon, Poso, korban perang di Afghan, ‘Iraq, dan Palestina? Begitu banyak yang bisa dilakukan dalam da’wah ini ....

“Hai orang yang berselimut! Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabb-mu  agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah! Dan perbuatan dosa  tinggalkanlah! Dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh yang lebih banyak. Dan untuk  (memenuhi perintah) Rabb-mu, bersabarlah! (Al Mudatstsir 1-7)
Ya, lalu kelak? Tahkah kau, dari 1000 anggota dewan partai da’wah, 400 orang diantaranya bergelar Lc? Tegakah kau saksikan  mereka terbengong sejenak, dan harus belajar cepat, sangat cepat, untuk mengejar ketertinggalan mereka memahami masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada amanah yang diembannya? Lalu siapa yang memberi taujih bagi umat, kalau begitu? Tidak. Teruslah menatap ke depan, maka kau akan saksikan betapa da’wah semakin membutuhkan sosok-sosok yang profesional diberbagai bidang untuk menjawab pertanyaan ummat, “Mana kontribusi da’wah bagi kemajuan peradaban?”

Tengoklah ke belakang. Investasi ‘Ustman telah memakmurkan seluruh Madinah. Enterpreneurship ‘Abdurrahman Ibn ‘Auf telah membangun keseimbangan pasar yang sebelumnya dikungkung hegemoni  Yahudi. Keuletan petani seperti Abu Thalhah telah menjamin ketahanan pangan Madinah. Kemahiran Asy-Syifa’ binti ‘Abdillah telah menjaga kesehatan penduduk Madinah. Administrasi ala ‘Umar ibn Al Khaththab membuat negerinya sentausa. Kejelian akunting Abu ‘Ubaidah telah menjaminkan keadilan dan pemerataan ekonomi masyarakat. Kelihaian perang Khalid telah membuka wilayah-wilayah baru. Kecerdikan diplomasi ‘Amr ibn Al ‘Ash telah menaklukan banyak tanah tanpa pertumpahan darah. 
 Begitulah .... 


Maka kini, mungkin dalam keterbatasan kita, bercita-cita tinggilah... Kerjakan semua yang kau bisa sampai batas kelelahan menghampiri. Malam ini, saat kau rasakan pegal dipunggung, ngilu di kaki, dan nyeri di sendi, berbaringlah bertafakur di tempat tidur. Bermuhasabahlah sambil merilekskan tubuhmu. Rasakan kenyamanan istirahat yang sangat. Lalu bolehlah engkau bersenandung seperti yang dilantunkan Hijjaz : 

Selimuti diriku
Dengan sutra kasih sayangMU
Agar lena nanti, kumimpikan surga yang indah
Abadi

Pabila ku terjaga
Dapat lagi kurasai
Betapa harumnya, wangian surga firdausi
Oh Illahi

(Hijjaz : Sebelum Mata Terlena)

Semoga semua kelelahanmu, berhadiah pijatan lembut bidadari ... 

>> Saksikanlah Bahwa Aku Seorang Muslim <<

Salim A. Fillah

AFILIASI

Kamis, 01 September 2011

Saudaraku, aku punya harap yang harus kubagi denganmu.

Semoga ada wajah-wajah yang tidak pernah mengeluh pada kita tentang taqdir yang menimpanya. Mereka telah mencukupkan akhir malam sebagai waktu pengaduan. Saat mereka berdiri, ruku’, dan sujud dalam tangis rindunya. Manis nian wajah-wajah itu dengan senyum mendoakan kita, “Assalamu’alaikum...”

Semoga ada wajah-wajah yang tak pernah mengajak kita menggunjing, memfitnah, dan sibuk dengan aib orang. Betapa ingin kita disambut dimajelis mereka, dengan ucapan, “akhi.. ta’ala nu’minu saa’ah....saudaraku, mari sejenak kita beriman!” dan kita diterbangkan ketempat yang dinaungi sayap malaikat. 

Kita rindu bersua dengan wajah-wajah ini dalam perjalanan. Bukankah kita belum saling kenal dan baru kali ini bertatap muka? Tapi rasanya hati sudah akrab, dan lisan tak tahan untuk segera melempar senyum dan beruluk salam. 

Inilah dia, wajah-wajah keimanan. Yang digambarkan Rasulullah, yang satu menjadi cermin yang lain. Ada inspirasi amal shaleh saat memandangnya, ada ide cemerlang dan energi isi ulang melihat keteduhannya...Subhanallah. Betapa kita merindu wajah-wajah keimanan. Wajah-wajah itu adalah, wajah-wajah saudara kita dijalan Allah.

Kita rindu wajah Ash Shiddiq Abu Bakar yang membuat kita tak lagi merasa ragu dan bimbang. Kita rindu wajah Al Faruq Ibnu Al Khaththab untuk membuang kepengecutan.... Dan tentu kita rindu wajah Al Amin, yang membuat kita merasa berharga menyertainya menghadap Allah  nanti. Kita sangat rindu wajah-wajah keimanan. Kita rindu menjadi bagian dari mereka, serindu kita pada sebuah sambutan...

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah pada Rabbmu dengan hati puas lagi diridhai, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam jannahKu...” (Al Fajr 27-30).

Lalu, betapa rindu kita pada sebuah rumah tangga yang barakah...

Mungkin saja suatu malam, menjelang pagi barangkali, antum segera terbangun padahal sedang bermimpi dahi antum dikecup bidadari. Dan ketika antum membuka mata, ‘bidadari’ itu sedang memandang antum sambil mengenakan mukenanya, “Shalat yuk!” Istri kita, separuh agama, penjaga ketaatan kita padaNya.

Istri, labuhan kita dari samudra dunia yang bergolak tak ramah. Dalam belaiannya, ada kelembutan, ada ketentraman, ada cinta, ada kehangatan. Tahukah kita juga tentang kelelahannya? Mungkin ia merasa sangat pegal, ingin sekali diurut dan dipijat. Ketika kita pulang, belum sempat ia berucap lisan kita sudah memberondongnya dengan banyak keluhan dan permintaan. Mungkin ingin sekali ia terlelap sejenak, tapi kita sudah mengganggunya dengan kerewelan-kerewelan. Mungkin juga, ia ingin menangis, tapi kita telah terisak mengadu dan berkeluh dipangkuannya sebelum sempat ia ucapkan sepatah kata. 

Istri, arah kita berlari dari yang haram menuju yang halal. Berlari dari dosa mencari pahala. Berlari dari hina menuju mulia. Berlari dari tempat maksiat ke tempat ibadat. Berlari dari syaitan yang keji menuju bidadari yang suci. Bukankah itu bisa berarti berlari dari neraka menuju surga? Subhanallah, kapanpun kita pulang, kita berharap surga itu memang selalu hadir ke rumah kita. 

Adakah yang tak suka dibimbing ayah seperti Luqman, yang selalu memanggil putranya, “Ya Bunayya..?” Adakah yang tak rindu beribukan Khansa, yang disaat keempat putranya menghadap Allah dengan syahid berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan syahidnya mereka.?”Adakah yang tak mendamba rumah tangga berisi Ibrahim, Hajar, Isma’il? Adakah?

Ya. Jangan lupakan juga anak-anak yang menghadirkan keceriaan, atau memberi pelita rumah kita dengan hafalan Qur’an mereka. Mereka berhak mendapatkan kemanfaatan tertinggi dari kita. Mereka yang selalu menyambut lelah kita sepulang kerja dengan teriakan, “Abii..gendoong!”, lalu tangan yang tadi tak kuasa membawa tas kerja, kini dengan ringan membopong si gendut yang tampak mungil dengan kerudungnya. Kita rindu rumah keluarga Ali, tempat si kecil Hasan, Husain, dan Ummu Kultsum menangis karena roti berbuka mereka tidak diberikan kepada peminta-minta. Kita sangat rindu.

“Surga ‘Adn yang mereka masuki bersama orang-orang shalih dari bapak-bapak mereka, istri-isrinya, dan anak cucunya, sementara malaikat-malaikat masuk ke tempat mereka dari semua pintu, sambil mengucapkan “Salaamun ‘alaikum bimaa sabarthum..”, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (Ar Ra’ad 23-24)

Lalu kita rindu masyarakat yang terarah...

Kalau rumah-rumah bercahaya itu berkumpul menjadi suatu masyarakat bertetangga, alangkah rindu kita menjadi bagian darinya. Kita begitu rindu masyarakat Imani, masyarakat yang membuat kita selalu ingin berada di tengah mereka. Hanya itu masyarakat yang membuat kita merasa aman dari lisan dan tangan mereka. Masyarakat yang setiap hari menyambung silaturrahimnya di dalam rumah Allah melalui jama’ah shalat dan majelis ilmu. Tumit-tumitnya merapat, pundak-pundaknya luwes saling bersentuh, barisannya lurus, dan takbirnya serempak menggemakan kebesaran Allah. Masyarakat yang rumpiannya rumpian iman, arisannya majelis dzikir, dan gotong-royongnya jihad fi sabilillah...

Adakah yang sempat menyuapi orang buta di pojok pasar dengan terlebih dahulu melembutkannya sehingga si buta tak perlu lagi mengunyahnya? Adakah yang ketika tak bersua dengan pengejek rutinnya justru menanyakan kabarnya. Dan justru menjadi orang pertama yang menjenguk sakitnya? Wahai Rasulullah.., alangkah indah menjadi tetanggamu. 

Kalau Hasan Al Bashri hidup di zaman ini tentu kita akan saksikan ia mengirimkan sekeranjang kurma untuk penggunjing-penggunjingnya dengan kartu ucapan, “Terima kasih atas gunjinganmu yang membuat pahalamu berpindah kepadaku.” Aduhai, siapa yang tak berhenti menggunjing kalau begini caranya? Betapa rindu bertetangga dengannya yang bersabar atas rembesan air WC tetangga 30 tahun lamanya. Subhanallah.

Lalu, kita rindu sebuah negri yang thayyibah..

‘Ukasyah membuat kita iri dengan kesempatannya untuk membalas pukulan tak sengaja Rasulullah. Pemimpin besar ini telah memberi kesempatan siapapun yang meras terzhalimi untuk membalas. Ia memberi sebuah contoh tentang keadilan dan persamaan hukum. Tapi yang membuat kita lebih iri, sebenarnya  Ukasyah hanya ingin kulitnya dekat dengan sang pemimpin terkasih di dunia dan akhirat.

Kita merindukan saat kita bisa seperti Salman. Dengan status imigran bisa mengkritisi pemimpin negara sampai pun soal pakaian sang pemimpin yang berbeda ukuran dari rakyatnya. Dan ‘Umar sang pemimpin pun bisa menjelaskan bahwa kain jatahnya sama dengan jatah yang dibagi untuk semua penduduk. Hanya saja karena ia bertubuh besar, sehingga putra tercinta memberikan bagiannya untuk ‘Umar sehingga kainnya tampak lebih besar.

Kita merindukan pemimpin yang setiap malam bisa meronda memeriksa kondisi kita. Pemimpin yang juga sempat memikul sendiri gandum untuk seorang ibu yang sulit mendiamkan tangis lapar anaknya. Kita juga rindu ibu negara seperti Ummu Kultsum binti ‘Ali yang ditengah malam bekerja keras menolong kelahiran salah seorang warganya, sementara suami tercinta ‘Umar Amirul Mukminin memasak roti dan menghangatkan susu sambil menghibur gelisah sang calon ayah.

‘Umar lain, yang datang sebagai buyut ‘Umar pertama menyelesaikan krisis ekonomi berat hanya dalam usia dua tahun usia pemerintahannya. Dan kedua penguasa ini dapat ditemui tanpa birokrasi menyulitkan. Bahkan tampak tiduran di atas kerikil atau mengendari baghal bututnya. Bukan karena miskin. Pemimpin  muslim sejati memandang jabatan sebagai amanah yang berat pertanggungjawabannya. “Kalau ada seekor anak unta hilang di tepi sungai Daljah, aku takut Allah akan menanyakannya kelak..!”, katanya suatu ketika.

Betapa rindu kita pada pemimpin yang bisa menangis. Minimal menangis. Karena cinta. Pemimpin yang sadar bahwa ia akan ditanya dan diminta bertanggungjawab atas jutaan pengangguran, miliyaran kasus kriminalitas, jatuhnya moral remaja, dan perempatan jalan yang penuh peminta. Minimal sadar. Karena cinta. Ia seperti kata Nabi, “Ia mencintai kalian, dan kalian pun mencintainya.” Dan cinta itu, akan mengangkatnya dari kungkungan batas-batas kemampuanya untuk berbuat lebih. Karena cinta itu tak membuatnya sendiri, tatapi rakyat membersamainya. Jika ruhnya saling mengenal dengan ruh rakyatnya, saat itulah nyala bertemu sumbu, dan kerja-kerja menjadi api yang mengkinesi potensi. Dan Allah menghujankan air barakah, dan menumbuhkan pohon thayyibah. 

Jangan ia menjadi pemimpin yang dikatakan Nabi, “Ia membenci kalian, dan kalian membencinya.” Karena ia pemimpin yang terbuta seperti patung dewi keadilan. Dan keadilan pun menjadi seperti patung, -atau robot-, bagi rakyatnya. Karena ia pemimpin yang menyuapi jutaan mulut bayi lapar dengan hutang sepuluh juta perkepala begitu lahir dari rahim ibunya. Karena ia rindu menjadi Fir’aun terpuja. Serindu rakyatnya pada Musa yang membebaskan, dan Sulaiman yang memakmurkan. 

Saudaraku, adakah rindu kita ada di lembah hijau yang sama?

Atau setidaknya di gersang padang yang sama. Kerinduan menjadi energi besar bagi nurani yang menginginkan perubahan. Dan nyata kiranya, kerinduan pada cahaya muncul di saat kita sedang  berada dalam kegelapan. Makna kerinduan begitu berarti bagi orang-orang pilihan. Kerinduan, ya...kerinduan. 
Kerinduan menjadi nikmat yang menyambung asa harapan orang-orang beriman. Cita-cita besar para mujahid selalu berangkat dari terminal kerinduan. Dan unik, terminal rindu itu selalu dibawa serta selama perjalanan. 

Semoga rindu adalah sepotong makna afiliasi kita. Pada Allah, RasulNya, dan DiinNya. []
 -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
>> Saksikanlah Bahwa Aku Seorang Muslim <<

Salim A. Fillah

GENERSI SYAHADAT, GENERASI TAHAN UJI (Ep. 1)

Sabtu, 25 Juni 2011
Besar kecilnya tanggungjawab seseorang menjadi tanda kualitas syahadatnya, yang dapat diukur pada caranya memanfaatkan waktu. Seorang yang berkualitas selalu berusaha menumbuhsuburkan bibit syahadatnya agar dapat terus ditingkatkan lebih tinggi lagi.

Tiada waktu tanpa peningkatan kualitas syahadat. Tiada program kecuali peningkatan iman. Tidak mati kecuali dalam puncak jenjang syahadat, pasrah diri kepada Tuhan.

"Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah engkau mati kecuali dalam Islam." (Q.S. Ali Imran : 102).

Rute perjalanan yang harus dilalui untuk membuktikan syahadat bisa dikatakan singkat, bisa juga panjang. Hal tersebut tergantung pada kadar mujahadah, dukungan ibadah dan ukuran besar kecilnya tanggungjawab yang dipikul.

Namun demikian, dibalik perbedaan jauh rute itu, ada kesamaan irama dan ritme perjalanan. Jurang yang terjal, tebing yang tinngi pasti ditemukan dalam perjalanan.
Bahkan dengan tegas Allah merinci tikungan-tikungan tajam yang akan dilewati dalam perjalanan proses uji coba penentuan peringkat kadar kualitas syahadat dengan firman-Nya:

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang yang beriman bersamanya : 'Bilakah datangnya pertolongan Allah ?'. Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat." (Q.S. Al-Baqarah : 214).

Ada tiga tebing tinggi dan jurang terjal yang harus dilewati sebelum seseorang sampai ke titik kenikmatan yang dijanjikan oleh Allah. Baik kenikmatan dunia apalagi yang di akhirat.

Ketiga tebing dan jurang tersebut dialami oleh semua orang yang ingin menikmati surga, tak terkecuali Nabi dan Rasul Allah.

Sudah merupakan garis ketentuan Allah, atau sudah menjadi sunnatullah, hukum alam yang sudah pasti, bahwa untuk mencapai keadaan yang ideal diperlukan proses yang tidak ringan.

"Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah." (Q.S. Al-Ahzab : 62).

Andaikan para Nabi dan Rasul mengetahui jalan mulus menuju surga tanpa mengalami hambatan dan rintangan yang serba menyulitkan, tanpa malapetaka dan ujian, tanpa kesengsaraan dan kemiskinan, maka mereka tentu akan memilih jalan itu. Akan tetapi kenyataannya tidak begitu.

Semua Nabi dan Rasul mengalami nasib yang sama, menempuh rute perjalanan dengan ritme dan irama yang sama. Mereka menderita, selalu ditimpa malapetaka, ditimpa kemelaratan yang tiada tara, juga dihantui oleh perasaan yang serba takut.

Hanya imanlah yang memberikan kemampuan pada mereka untuk tetap berjalan dalam rel yang sudah ditentukan.
Bukan hanya itu, segala cobaan yang datangnya dari Allah mampu dimanfaatkan untuk mempertebal keimanan, bukan sebaliknya melemahkan iman.

Syahadat memang memerlukan proses pembajaan. Dan proses pembajaan yang baik hanyalah melewati berbagai kesulitan, karena sesudah kesulitan itulah akan muncul kemudahan. "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan." (Q.S. Al-Insyirah : 5-6).


Bila Malapetaka Datang 
Malapetaka merupakan suatu kondisi yang sangat tidak menyenangkan, datang dengan tiba-tiba di luar perkiraan, dan tanpa persiapan sama sekali. Bila kurang waspada keadaan tersebut bisa berakibat sangat fatal. Bisa jadi peristiwa yang tiba-tiba itu membuat gairah jihad berkurang, ghirrah dan semangat juang menurun tajam.

Bahkan kadang begitu emosional menuduh dan mencap banyak pihak sebagai biang keladinya. Atau sebaliknya, menganggap hal tersebut sebagai taqdir yang wajar-wajar saja, tidak perlu dicari hikmah dan maknanya. Sangat disayangkan bila kondisi seperti itu tidak dimanfaatkan untuk meraih berbagai keuntungan.

Petaka yang menimpa kaum muslimin sebenarnya hanyalah ujian atau mungkin peringatan karena kasih sayang Tuhan. Bagi seorang pejuang kondisi seperti ini dapat dimanfaatkan minimal untuk konsolidasi organisasi, pengkristalan kekuatan, dan penyusunan ulang barisan yang lebih rapi, serta upaya koreksi ke dalam untuk perbaikan kebijaksanaan di masa mendatang.

Peristiwa itu patut dijadikan sebagai sentakan teguran, untuk terciptanya semangat dan motivasi baru yang lebih merangsang, lebih mendorong berbuat yang lebih baik.
Karena datangnya serba mendadak, wajar kalau membuat suatu kegoncangan. Nabi sendiri mengalami peristiwa itu.
Ketika kaum musyrikin Quraisy mencapai puncak kemarahannya, ketika Nabi menggantungkan diri pada perlindungan paman dan isterinya, pada saat itu keduanya diambil oleh Allah, mati. Saat itu jiwa Nabi betul-betul terguncang, sehingga tersebut tahun itu sebagai 'Amul Khuzn', tahun duka.

Boleh-boleh saja kita oleng karena badai dan ombak mengamuk begitu kuat. Tapi bagaimanapun kita tiak boleh sampai tersungkur jatuh atau kembali ke tepian. Di sinilah diperlukan seorang nahkoda yang cukup lihai mengemudikan kapal. Dibutuhkan seni kepemimpinan yang cukup handal.

Peristiwa seperti ini tak bisa dihindari. Pasti akan dialami oleh setiap orang yang hendak meningkatkan kualitas syahadatnya. Utamanya mereka yang menjadi pioner dan perintis perjuangan.

Dengan demikian harus disiapsiagakan diri menerima kemungkinan tersebut sebagai sesuatu yang bisa memberi manfaat bila diupayakan dengan baik. Sebab ia juga sekaligus berfungsi sebagai proses pematangan syahadat.
Melalui peristiwa ini akan terseleksi apakah mereka masih bersangka baik kepada Allah SWT, atau malah menuduh Allah dengan berbagai macam dakwaan?
Kematian kedua tumpuan Nabi, paman sekaligus isteri beliau secara beruntun adalah teguran dan peringatan Allah bahwa tak sepatutnya beliau bergantung pada keduanya.

Peristiwa itu sesungguhnya pelajaran bagi Nabi bahwa hanya Allah yang dapat melindungi dirinya, bukan karena kepiawaian pamannya, juga bukan karena kebangsawanan isterinya.

Melalui peristiwa pahit ini kita rasakan sendiri peringkat kadar kualitas syahadat yang kita miliki. Justru pada saat malapetaka itu datang, betapapun kecilnya, saat itulah kita bisa melakukan evaluasi. Itu tidak berarti kita kemudian mencari-cari malapetaka, sebab kalau demikian maknanya bisa lain, dan hasinyapun juga berbeda. Merencanakan serta mengundang malapetaka bisa bermakna menganiaya diri sendiri.

"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (Q.S. Al-Baqarah : 195).

Keberhasilan untuk tetap stabil dan normal di dalam menerima sentakan yang seperti itu adalah wujud kemampuan memperlihatkan mutu kadar kualitas syahadat.
Perlu keluwesan untuk tidak terlalu kaku memahami ungkapan ini, sebab bisa saja malapetaka tersebut sifatnya tidak langsung.

Mungkin saja berbentuk kegagalan secara total beberapa target yang serius dikejar, atau kemacetan urusan setelah menelan tidak sedikit biaya dan tenaga, atau berupa peristiwa yang mengganggu serta merusak program yang sementara berjalan dengan baik.

Perlu diingat, malapetaka itu bentuknya sentakan, tidak terus-menerus. Peristiwa ini sesungguhnya hanya bersifat teguran peringatan, atau uji coba penjajakan, disamping upaya pemantapan syahadat. Sejauh mana seseorang itu bisa berprasangka baik kepada Allah SWT.

Itulah sebabnya terkadang terasa timbangannya demikian berat, sehingga seseorang dibuatnya kehilangan kendali. Peristiwanya bisa saja sejenak, tetapi pengaruh dan dampaknya yang lama dan berlarut-larut. Kalau kurang kontrol bisa mengundang malapetaka baru yang berkelanjutan.

Padahal andaikan kita mampu memahami apa arti setiap malapetaka yang datang, bisa saja malapetaka itu dijinakkan dan ditekan efeknya seminimal mungkin, sehingga tetap bisa dipetik manfaatnya.

Yang pasti, malapetaka ini sulit untuk dihindari sama sekali, sebab sudah semacam keharusan yang mengiringi keberadaan syahadat. Selama irama dan ritme perjalanannya mengarah ke depan, menuju sasaran dermaga yang telah ditentukan, bagaimanapun hati-hatinya pasti akan berhadapan dengan batu karang yang menghadang. Bertemu dengan ombak dan gelombang yang mengganggu, serta angin topan yang mengancam.

Beberapa kemungkinan bisa terjadi, entah kemudi yang patah, layar yang robek, petugas yang lalai, peralatan yang jatuh, perbekalan yang habis, atau kerusakan-kerusakan yang lain. Adanya persiapan menghadapi kemungkinan itu tentu akan menghasilkan akibat yang sangat berbeda dibanding tanpa persiapan sama sekali.
Ketiadaan persiapan akan menjadikan kepanikan dan kalang kabut begitu malapetaka datang. Akibatnya petaka lain akan terundang beruntun, karena fikiran tidak berfungsi dan hanya emosi yang dominan.

Dengan modal syahadat yang berintikan keyakinan, serta kesadaran akan realitas diri yang sudah dilengkapi oleh Allah berbagai instrumen dan peralatan yang memadai dalam menghadapi setiap malapetaka, hati pasti menjadi tenang. Dan satu lagi yang pasti, Allah selalu siap menolong hamba-Nya yang memerlukan.

Yang perlu kita sadari bahwa inilah resiko yang menjadi saksi nyata akan eksisnya sebuah Syahadat. Adapun selanjutnya bagaimana menghadapi setiap resiko, adalah soal seni, soal taktik, soal gaya, soal format perwatakan, soal kematangan pribadi, soal pengalaman.

Semuanya cukup mempengaruhi reaksi spontan terhadap setiap resiko yang terpaksa harus kita terima apa adanya.

Yang penting bahwa kita bisa memperoleh manfaat, setidak-tidaknya menjadikan diri ini sadar sepenuhnya akan keterbatasan kita, kemudian mengakui bahwasanya kekuasaan itu sepenuhnya di tangan Allah SWT. Dengan demikian datangnya malapetaka berarti kesempatan dan media untuk meningkatkan kualitas Syahadat.

Sumber : www.hidayatullah.com

Dikaukah laki-laki pilihan Allah??

Sabtu, 18 Juni 2011
Banyak sekali ayat-ayat Allah dan hadits Rasulullah yang mengajarkan kepada kaum wanita, agar mereka mendapatkan laki-laki yang Allah pilihkan untuk menjadi suami mereka. Tentunya, lelaki pilihan Allah, adalah mereka yang taat dalam memperlakukan wanita sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Karena aturan yang Allah berikan kepada lelaki dalam memperlakukan wanita itulah, salah satu bentuk, bagaimana Allah memuliakan kaum wanita....

Tentunya, dengan waktu yang singkat tidaklah mungkin kita hadirkan kajian ayat dan hadits yang sangat banyak sekali jumlahnya …, tetapi dengan sangat mudah kaum wanita bisa melihat dari ciri-ciri akhlaq mereka..

Beberapa ciri yang umum dari akhlaq lelaki pilihan Allah ketika ia hendak menikahi seorang wanita adalah ;

Ketika memulai satu hubungan, ia akan menyatakan niatnya dan memperlihatkan kesungguhannya bahwa hubungan yang dilakukannya itu semata-mata hanya untuk menikah, bukan untuk hubungan yang lain seperti berpacaran atau sekedar bermain-main saja. Dalam proses perkenalan, berdua-duaan adalah hal yang selalu dihindari, menjaga pandangan mata, tidak menyentuh calon istrinya, walaupun hanya berjabat tangan.

Dan pada saat berbicara, dirinya tidak melakukan pembicaraan yang tidak bermafaat, atau perkataan yang sia-sia, tidak mengobral janji, atau berangan-angan kosong. Sikapnya tawadhu, sopan, dan menyenangkan. Tidak pula berlebihan dalam berbicara. Mengucapkan salam dan berkata yang baik, adalah kepribadiannya, memiliki sifat optimis, rajin dalam bekerja dan berusaha tampak dari cara ia menceritakan hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. Pergaulannya dengan orang-orang yang sholeh, bisa kita lihat pada teman-teman disekelilingnya, dan pemahamannya terhadap agama, atau pada perilaku ibadahnya. Mengisi waktu senggangnya dengan hal yang bermanfaat dan berolah raga.

Menghormati orang tua calon istri, dengan niat mempercepat akad nikah dan tidak menundanya dengan jangka waktu yang lama, dan yang terlebih penting lagi, tidak mengambil pinangan orang lain.

Dan..pada saat menikah dan setelahnya, ciri mereka sebagai suami pilihan Allah setidaknya memiliki akhlaq ;

Membayarkan mahar istri dengan sempurna, jika maharnya tidak tunai, maka akan segera ditunaikan. Memberikan nafkah kepada istri, lahir dan bathin dengan cara pertengahan, tidak kikir dan tidak pula berlebihan, sikapnya konsisten seperti apa yang katakan pada saat sebelum menikah dengan memperlakukan istri dengan lemah lembut, bercanda dan bersenda gurau dengan tidak berlebihan, berkata yang baik, memanggil istrinya dengan sebutan yang menyenangkan istrinya, dan dan senantiasa menjaga rahasia istri dan kehidupan rumah tangga mereka.

Dan pada sisi lain, ia tegas jika perbuatan istri mengarah kepada hal yang dapat menjerumuskan kepada kemasiatan, kelalaian dalam beribadah, atau sikap dan perilaku yang menyimpang dari aturan Allah.

Jika menghukumnya, ia tidak akan pernah memukulnya atau menyakitinya, tetapi jika perlu melakukan hal itu dengan alasan yang dibenarkan dalam syariat, ia hanya akanmelakukannya tanpa menyakiti, atau menimbulkan bekas pada bagian tubuh manapun dari sang istri.

Pemaaf dan pengertian, adalah sifat yang senantias ditunjukkannya, berterima kasih kepada istrinya adalah bentuk penghargaan yang tidak pernah dilewatkannya. Demikian pula dengan penampilannya yang senantiasa menjaga kebersihan, rapi dan wangi.

Senantiasa bermusyawarah, berdiskusi, meminta pendapat istri dalam urusan rumah tangga dan mendidik anak-anak. Membantu istri dalam urusan rumah tangga yang tidak bisa ditangani, apakah itu dengan menyediakan berbagai fasilitas yang disanggupi seperti pembantu rumah tangga, perlatan masak, dan hal lainnya. Jika berkemampuan, pasti dirinya akan menempatkan istrinya di tempat yang baik, dengan lingkungan yang baik pula dan menjaganya dari segala hal yang dapat menibulkan fitnah bagi istrinya.

Dalam waktu luangnya, ia pasti menemani istrinya apabila bepergian, memerintahkan istrinya untuk menutup auratnya, tidak membawa istrinya ke tempat yang dapat menimbulkan maksiat. Memuliakan orang tua dan keluarga istri sama seperti keluarganya sendiri.

Dan yang paling senantiasa ia lakukan adalah memberikan teladan bagi istri dan anak-anaknya, menjadi imam dalam beribadah, memberikan bimbingan dan senantiasa mengingatkan akan tujuan pernikahan, serta terus berusaha meningkatkan ketaatan dan ibadah mereka kepada Allah..

Setidaknya, inilah ciri-ciri akhlaq lelaki dan suami pilihan Allah, walaupun ia tidak harus selalu kaya, tampan dan gagah, tetapi jika dirinya dihiasi akhlaq yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-nya, Insya Allah kehidupan rumah tangga yang diberkahi, sakinah, mawaddah, dan warrahmah akan dicapai..

Menjaga, Menata, lalu Bercahaya

Jumat, 13 Mei 2011
Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihanmenurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.

Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.
Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.

”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.

”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”

♥♥♥

Dengan cita yang besar, tinggi, dan bening
dengan gairah untuk menerjemahkan cinta sebagai kerja
dengan nurani, tempatmu berkaca tiap kali
dan cinta yang selalu mendengarkan suara hati

Teruslah melanglang di jalan cinta para pejuang
menebar kebajikan, menghentikan kebiadaban, menyeru pada iman
walau duri merantaskan kaki, walau kerikil mencacah telapak
sampai engkau lelah, sampai engkau payah
sampai keringat dan darah tumpah

Tetapi yakinlah, bidadarimu akan tetap tersenyum
di jalan cinta para pejuang


-Sallim A. Fillah-

CINTAKU YANG HENING


"Mencintai seseorang bukan hal yang mudah.
Bagi sebagian orang, termasuk saya tentunya, mencintai orang merupakan proses yang panjang dan melelahkan."

Lelah ketika kita dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak seimbang antara akal sehat dan nurani.
Lelah ketika kita harus menuruti akal sehat untuk berlaku normal meski semuanya menjadi abnormal.
Lelah ketika mata menjadi buta akibat dari perasaan yang membius tanpa ampun.
Lelah ketika imaginasi menjadi liar oleh khayalan yang terlalu tinggi.
Lelah ketika pikiran menjadi galau oleh harapan yang tidak pasti.
Lelah untuk mencari suatu alasan yang tepat untuk sekedar melempar sesimpul senyum atau sebuah sapaan "apa kabar…"
Lelah untuk secuil kesempatan akan sebuah moment kebersamaan.
Lelah untuk menahan keinginan untuk melihatnya..
Lelah untuk mencari secuil kesempatan menyentuh atau membauinya.

Lelah dan lelah dan lelah..



Hanya sebuah sikap diam dan keheningan yang lebih saya pilih..

Diam menunggu sang waktu memberi sebuah moment.
Diam untuk mencatat segala yang terjadi.
Diam untuk memberi kesempatan otak kembali dalam keadaan normal.
Diam untuk mencari sebuah jalan keluar yang mustahil.
Diam untuk berkaca pada diri sendiri dan bertanya "apakah aku cukup pantas?"
Diam untuk menimbang sebuah konsekuensi dari rasa yang harus dipendam.
Diam dan dalam diam kadang semuanya tetap menjadi tak terarah..
Dan dalam diam itu pula, saya menjadi gila karena sebuah rasa dan pesona tetap mengalir..


Sayangnya, dalam keheningan dan diam yang saya rasakan,
lebih banyak rasa galau daripada sebuah usaha untuk mengembalikan pola pikir yang lebih logis.
Galau ketika mata terus meronta untuk sebuah sekelibat pandangan.
Galau ketika mulut harus terkatup rapat meski sebuah kesempatan sedikit terbuka.
Galau ketika mencintai menjadi sebuah pilihan yang menyakitkan
Galau ketika mencintai hanya akan menambah beban hidup
Galau ketika menyadari bahwa segalanya tidak akan pernah terjadi
Galau ketika tanpa disadari harapan terlanjur membumbung tinggi
Galau ketika semua bahasa tubuh seperti digerakan untuk bertindak bodoh.

Apakah mencintai seseorang senantiasa membuat orang bodoh? Tentu tidak.
Namun itu pula yang saya rasakan ini.

Dalam kelelahan, diam dan kegalauan yang saya rasakan selama ini, ada rasa syukur atas berkat dari Sang Hidup atas apa yang saya alami.
Syukur ketika rasa pahit menjadi bagian dari mencintai seseorang.
Syukur ketika berhasil memendam semua rasa untuk tetap berada pada zona diam.
Syukur untuk sebuah pikiran abnormal namun tetap bertingkah normal
Syukur ketika rasa galau merajalela tak terbendung.
Syukur ketika rasa perih tak terhingga datang menyapa.
Syukur karena tak ditemukannya sebuah nyali untuk mengatakan "Aku mencintaimu"
Syukur ketika perasaan hancur lebur menjadi bagian dari mencintai.
Syukur ketika harus menyembunyikan rasa sakit dan cemburu dalam sebaris ucapan "aku baik – baik saja"
Syukur atas rahmat hari yang berantakan akibat rasa pedih yang teramat dalam.

Akhirnya, bagi saya, keputusan untuk mencintai melalui sebaris doa menjadi pilihan yang paling pantas.
Setidaknya, mencintai secara tulus melalui doa, dalam tradisi agama yang saya anut, akan menjadi lebih bermakna,
karena saya diteguhkan dus menjadi berkat atas segala rasa perih yang senantiasa ada didalam diri.
Dalam doa, akhirnya, semuanya kita kembalikan kepada Sang Hidup..


Bahwa terkadang akal dan perasaan campur aduk tak tentu arah.
Bahwa saya juga bukan manusia super..
Bahwa saya juga tidak bisa berlaku pintar sepanjang waktu, setiap hari.
Bahwa saya juga punya kebodohan yang kadang susah untuk diterima akal sehat.
Bahwa dengan segala kekurangan yang ada, saya berani mencintai..
Bahwa saya bersedia membayar harga dari mencintai seseorang..
Bahwa saya bersedia menanggung rasa sakit yang luar biasa..
Bahwa saya mampu untuk tetap hidup meski rasa perih terus menjalar..
Bahwa saya masih memiliki rasa takut akan kehilangan dalam hidup..


Dan hari ini, dari semua pembelajaran yang telah saya terima,
Berkembang menjadi sebuah bentuk KEPASRAHAN.
Sebuah Zona yang terbentuk karena saya merasa tidak berdaya.
Dimana saya merasa tidak memiliki kemampuan untuk membuat segalanya menjadi mungkin.
Dimana saya tidak berani untuk membangun sebuah harapan
Dimana saya tidak berani untuk mengatakan 
"Aku mencintaimu, mari kita pastikan segalanya, dan semuanya, hanya untuk kita berdua saja"


Dan ini adalah pilihan terakhir yang saya miliki,
Mencintai dalam kepasrahan, tanpa berharap dan tanpa meminta.
Meski sangat susah dan hampir mustahil bagi saya untuk tidak mengingatnya.
Semoga saya bisa.


Dan hingga hari ini, saya masih mencintainya
Saya sadar hal itu akan memberi rasa perih yg teramat dalam
Karena bagi saya, lebih susah untuk tidak mencintainya.
Dalam perjalanan yang melelahkan, dalam diam dan keheningan
Dan tentunya dalam sebuah KEPASRAHAN yang teramat dalam.

--------------------------------------------------------------------------

Dari saya yang akan selalu mencintaimu dalam diam

Aku Ingin Berhenti Sejenak

Selasa, 10 Mei 2011

Aku ingin berhenti sejenak…
Saat semua puji itu terlampau…
Hati ini galau…
Jiwa terlena…
Lupa bahwa diri ini sebenarnya hina…

Aku ingin berhenti sejenak…
Saat kata yang terangkai dalam tulisan…
Membuat cinta untukMu terburai berhamburan…

Aku ingin berhenti sejenak…
Saat perbuatan mulai tak tulus…
Saat nurani mulai tak lurus…

Aku ingin berhenti sejenak…
Merenung dalam diam ...
Hanya ingin jujur dengan semua rasa yang terpendam…

Aku ingin berhenti sejenak…
Ingin membaca dan lebih memaknai lagi semua yang sudah aku tuliskan...
Ingin melihat semua yang sudah aku lakukan...

Aku ingin berhenti sejenak…
Saat semua puji itu salah alamat…
Ia mulai mengikis niat…

Aku ingin berhenti sejenak…
Tak pungkiri makin lama, aku merasa makin tak mengenali diri...
Aku tak ingin bertemu denganMu dalam keadaan yang seperti ini…

Aku ingin berhenti sejenak…
Meluruskan niat…
Memberi diri ini nasehat…
Agar aku bisa mengukir jejak indah, perjalananku ke akherat…

Ya Allah…
Aku datang dengan sekeping hati…
Sekeping hati yang menjerit…
Sekeping hati yang sakit…

Ya Allah…
Karena tak bersihnya niat…
Aku menjadi hambaMu yang selalu punya cacat…
Yaa aku selalu berpotensi untuk cacat karena aku bukan malaikat…
Meski aku bukan malaikat, aku hamba yang berusaha untuk selalu taat…

Ya Allah… Karena tak ada kata terlambat untuk bertaubat…
Aku ingin berhenti sejenak…
Meluruskan niat untuk taat…

Ya Allah…
Ampuni dosaku...
Maaf untuk khilafku…