Listen Qur'an

AFILIASI

Kamis, 01 September 2011

Saudaraku, aku punya harap yang harus kubagi denganmu.

Semoga ada wajah-wajah yang tidak pernah mengeluh pada kita tentang taqdir yang menimpanya. Mereka telah mencukupkan akhir malam sebagai waktu pengaduan. Saat mereka berdiri, ruku’, dan sujud dalam tangis rindunya. Manis nian wajah-wajah itu dengan senyum mendoakan kita, “Assalamu’alaikum...”

Semoga ada wajah-wajah yang tak pernah mengajak kita menggunjing, memfitnah, dan sibuk dengan aib orang. Betapa ingin kita disambut dimajelis mereka, dengan ucapan, “akhi.. ta’ala nu’minu saa’ah....saudaraku, mari sejenak kita beriman!” dan kita diterbangkan ketempat yang dinaungi sayap malaikat. 

Kita rindu bersua dengan wajah-wajah ini dalam perjalanan. Bukankah kita belum saling kenal dan baru kali ini bertatap muka? Tapi rasanya hati sudah akrab, dan lisan tak tahan untuk segera melempar senyum dan beruluk salam. 

Inilah dia, wajah-wajah keimanan. Yang digambarkan Rasulullah, yang satu menjadi cermin yang lain. Ada inspirasi amal shaleh saat memandangnya, ada ide cemerlang dan energi isi ulang melihat keteduhannya...Subhanallah. Betapa kita merindu wajah-wajah keimanan. Wajah-wajah itu adalah, wajah-wajah saudara kita dijalan Allah.

Kita rindu wajah Ash Shiddiq Abu Bakar yang membuat kita tak lagi merasa ragu dan bimbang. Kita rindu wajah Al Faruq Ibnu Al Khaththab untuk membuang kepengecutan.... Dan tentu kita rindu wajah Al Amin, yang membuat kita merasa berharga menyertainya menghadap Allah  nanti. Kita sangat rindu wajah-wajah keimanan. Kita rindu menjadi bagian dari mereka, serindu kita pada sebuah sambutan...

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah pada Rabbmu dengan hati puas lagi diridhai, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam jannahKu...” (Al Fajr 27-30).

Lalu, betapa rindu kita pada sebuah rumah tangga yang barakah...

Mungkin saja suatu malam, menjelang pagi barangkali, antum segera terbangun padahal sedang bermimpi dahi antum dikecup bidadari. Dan ketika antum membuka mata, ‘bidadari’ itu sedang memandang antum sambil mengenakan mukenanya, “Shalat yuk!” Istri kita, separuh agama, penjaga ketaatan kita padaNya.

Istri, labuhan kita dari samudra dunia yang bergolak tak ramah. Dalam belaiannya, ada kelembutan, ada ketentraman, ada cinta, ada kehangatan. Tahukah kita juga tentang kelelahannya? Mungkin ia merasa sangat pegal, ingin sekali diurut dan dipijat. Ketika kita pulang, belum sempat ia berucap lisan kita sudah memberondongnya dengan banyak keluhan dan permintaan. Mungkin ingin sekali ia terlelap sejenak, tapi kita sudah mengganggunya dengan kerewelan-kerewelan. Mungkin juga, ia ingin menangis, tapi kita telah terisak mengadu dan berkeluh dipangkuannya sebelum sempat ia ucapkan sepatah kata. 

Istri, arah kita berlari dari yang haram menuju yang halal. Berlari dari dosa mencari pahala. Berlari dari hina menuju mulia. Berlari dari tempat maksiat ke tempat ibadat. Berlari dari syaitan yang keji menuju bidadari yang suci. Bukankah itu bisa berarti berlari dari neraka menuju surga? Subhanallah, kapanpun kita pulang, kita berharap surga itu memang selalu hadir ke rumah kita. 

Adakah yang tak suka dibimbing ayah seperti Luqman, yang selalu memanggil putranya, “Ya Bunayya..?” Adakah yang tak rindu beribukan Khansa, yang disaat keempat putranya menghadap Allah dengan syahid berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan syahidnya mereka.?”Adakah yang tak mendamba rumah tangga berisi Ibrahim, Hajar, Isma’il? Adakah?

Ya. Jangan lupakan juga anak-anak yang menghadirkan keceriaan, atau memberi pelita rumah kita dengan hafalan Qur’an mereka. Mereka berhak mendapatkan kemanfaatan tertinggi dari kita. Mereka yang selalu menyambut lelah kita sepulang kerja dengan teriakan, “Abii..gendoong!”, lalu tangan yang tadi tak kuasa membawa tas kerja, kini dengan ringan membopong si gendut yang tampak mungil dengan kerudungnya. Kita rindu rumah keluarga Ali, tempat si kecil Hasan, Husain, dan Ummu Kultsum menangis karena roti berbuka mereka tidak diberikan kepada peminta-minta. Kita sangat rindu.

“Surga ‘Adn yang mereka masuki bersama orang-orang shalih dari bapak-bapak mereka, istri-isrinya, dan anak cucunya, sementara malaikat-malaikat masuk ke tempat mereka dari semua pintu, sambil mengucapkan “Salaamun ‘alaikum bimaa sabarthum..”, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (Ar Ra’ad 23-24)

Lalu kita rindu masyarakat yang terarah...

Kalau rumah-rumah bercahaya itu berkumpul menjadi suatu masyarakat bertetangga, alangkah rindu kita menjadi bagian darinya. Kita begitu rindu masyarakat Imani, masyarakat yang membuat kita selalu ingin berada di tengah mereka. Hanya itu masyarakat yang membuat kita merasa aman dari lisan dan tangan mereka. Masyarakat yang setiap hari menyambung silaturrahimnya di dalam rumah Allah melalui jama’ah shalat dan majelis ilmu. Tumit-tumitnya merapat, pundak-pundaknya luwes saling bersentuh, barisannya lurus, dan takbirnya serempak menggemakan kebesaran Allah. Masyarakat yang rumpiannya rumpian iman, arisannya majelis dzikir, dan gotong-royongnya jihad fi sabilillah...

Adakah yang sempat menyuapi orang buta di pojok pasar dengan terlebih dahulu melembutkannya sehingga si buta tak perlu lagi mengunyahnya? Adakah yang ketika tak bersua dengan pengejek rutinnya justru menanyakan kabarnya. Dan justru menjadi orang pertama yang menjenguk sakitnya? Wahai Rasulullah.., alangkah indah menjadi tetanggamu. 

Kalau Hasan Al Bashri hidup di zaman ini tentu kita akan saksikan ia mengirimkan sekeranjang kurma untuk penggunjing-penggunjingnya dengan kartu ucapan, “Terima kasih atas gunjinganmu yang membuat pahalamu berpindah kepadaku.” Aduhai, siapa yang tak berhenti menggunjing kalau begini caranya? Betapa rindu bertetangga dengannya yang bersabar atas rembesan air WC tetangga 30 tahun lamanya. Subhanallah.

Lalu, kita rindu sebuah negri yang thayyibah..

‘Ukasyah membuat kita iri dengan kesempatannya untuk membalas pukulan tak sengaja Rasulullah. Pemimpin besar ini telah memberi kesempatan siapapun yang meras terzhalimi untuk membalas. Ia memberi sebuah contoh tentang keadilan dan persamaan hukum. Tapi yang membuat kita lebih iri, sebenarnya  Ukasyah hanya ingin kulitnya dekat dengan sang pemimpin terkasih di dunia dan akhirat.

Kita merindukan saat kita bisa seperti Salman. Dengan status imigran bisa mengkritisi pemimpin negara sampai pun soal pakaian sang pemimpin yang berbeda ukuran dari rakyatnya. Dan ‘Umar sang pemimpin pun bisa menjelaskan bahwa kain jatahnya sama dengan jatah yang dibagi untuk semua penduduk. Hanya saja karena ia bertubuh besar, sehingga putra tercinta memberikan bagiannya untuk ‘Umar sehingga kainnya tampak lebih besar.

Kita merindukan pemimpin yang setiap malam bisa meronda memeriksa kondisi kita. Pemimpin yang juga sempat memikul sendiri gandum untuk seorang ibu yang sulit mendiamkan tangis lapar anaknya. Kita juga rindu ibu negara seperti Ummu Kultsum binti ‘Ali yang ditengah malam bekerja keras menolong kelahiran salah seorang warganya, sementara suami tercinta ‘Umar Amirul Mukminin memasak roti dan menghangatkan susu sambil menghibur gelisah sang calon ayah.

‘Umar lain, yang datang sebagai buyut ‘Umar pertama menyelesaikan krisis ekonomi berat hanya dalam usia dua tahun usia pemerintahannya. Dan kedua penguasa ini dapat ditemui tanpa birokrasi menyulitkan. Bahkan tampak tiduran di atas kerikil atau mengendari baghal bututnya. Bukan karena miskin. Pemimpin  muslim sejati memandang jabatan sebagai amanah yang berat pertanggungjawabannya. “Kalau ada seekor anak unta hilang di tepi sungai Daljah, aku takut Allah akan menanyakannya kelak..!”, katanya suatu ketika.

Betapa rindu kita pada pemimpin yang bisa menangis. Minimal menangis. Karena cinta. Pemimpin yang sadar bahwa ia akan ditanya dan diminta bertanggungjawab atas jutaan pengangguran, miliyaran kasus kriminalitas, jatuhnya moral remaja, dan perempatan jalan yang penuh peminta. Minimal sadar. Karena cinta. Ia seperti kata Nabi, “Ia mencintai kalian, dan kalian pun mencintainya.” Dan cinta itu, akan mengangkatnya dari kungkungan batas-batas kemampuanya untuk berbuat lebih. Karena cinta itu tak membuatnya sendiri, tatapi rakyat membersamainya. Jika ruhnya saling mengenal dengan ruh rakyatnya, saat itulah nyala bertemu sumbu, dan kerja-kerja menjadi api yang mengkinesi potensi. Dan Allah menghujankan air barakah, dan menumbuhkan pohon thayyibah. 

Jangan ia menjadi pemimpin yang dikatakan Nabi, “Ia membenci kalian, dan kalian membencinya.” Karena ia pemimpin yang terbuta seperti patung dewi keadilan. Dan keadilan pun menjadi seperti patung, -atau robot-, bagi rakyatnya. Karena ia pemimpin yang menyuapi jutaan mulut bayi lapar dengan hutang sepuluh juta perkepala begitu lahir dari rahim ibunya. Karena ia rindu menjadi Fir’aun terpuja. Serindu rakyatnya pada Musa yang membebaskan, dan Sulaiman yang memakmurkan. 

Saudaraku, adakah rindu kita ada di lembah hijau yang sama?

Atau setidaknya di gersang padang yang sama. Kerinduan menjadi energi besar bagi nurani yang menginginkan perubahan. Dan nyata kiranya, kerinduan pada cahaya muncul di saat kita sedang  berada dalam kegelapan. Makna kerinduan begitu berarti bagi orang-orang pilihan. Kerinduan, ya...kerinduan. 
Kerinduan menjadi nikmat yang menyambung asa harapan orang-orang beriman. Cita-cita besar para mujahid selalu berangkat dari terminal kerinduan. Dan unik, terminal rindu itu selalu dibawa serta selama perjalanan. 

Semoga rindu adalah sepotong makna afiliasi kita. Pada Allah, RasulNya, dan DiinNya. []
 -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
>> Saksikanlah Bahwa Aku Seorang Muslim <<

Salim A. Fillah

0 komentar:

Posting Komentar